KH Zainal Mustafa dilahirkan tanggal 1 Januari 1899 di Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan nama Hudaemi. Namanya berganti menjadi Zainal Mustafa setelah menunaikan ibadah haji pada 1927.

Pulang ke tanah air, Zainal Mustafa mendirikan Pondok Pesantren Sukamanah di kampung halamannya. Tahun 1933, ia bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai Wakil Ro’is Syuriah NU cabang Tasikmalaya.

Penelitian Irpana berjudul "Peranan KH Zainal Mustafa dalam Mendirikan dan Mengembangkan Pesantren Sukamanah Tasikmalaya 1927–1944" (2015) menyebutkan bahwa KH Zainal Mustafa sangat disegani oleh warga Tasikmalaya.

KH Zainal Mustafa tergolong sebagai kiai muda yang berjiwa revolusioner dan berani menentang kolonialisme. Hal tersebut terlihat dari sikapnya yang terang-terangan membangkitkan semangat nasionalisme rakyat melalui ceramahnya.

Ceng Romli dalam penelitiannya berjudul "Sikap Politik Ajengan Sukamanah: Konfrontasi K.H. Zainal Mustafa dengan Penguasa Jepang 1942-1944" (2017) menyebutkan, KH Zainal Mustafa juga sering mengadakan rapat-rapat rahasia untuk menentang pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Sikap inilah yang kemudian mengakibatkan KH. Zaenal Mustafa dan beberapa ulama lainnya seperti Kiai Rukhiyat, Haji Syirod, dan Hambali Syafei, ditangkap aparat kolonial dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda pada 17 November 1941.

Seiring menyerahnya Belanda kepada Jepang dalam Perang Dunia II, KH Zainal Mustafa pun dibebaskan pada Maret 1942. Pemerintah Dai Nippon berharap pembebasan tersebut akan membuat KH Zainal Mustafa membantu Jepang selama di Indonesia. Akan tetapi, KH Zainal Mustafa ternyata tidak merespons keingingan Jepang tersebut.

Aiko Kurasawa dalam Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 (2015), menyebutkan, KH Zainal Mustafa menghadiri perkumpulan Geraf (Gerakan Anti Fasis). Dengan demikian, jelas sudah bahwa KH Zainal Mustafa menentang kehadiran Jepang di Indonesia. Seperti diketahui, Jepang bersama Jerman dan Italia merupakan negara-negara fasisme yang terlibat di Perang Dunia II kala itu.

Perlawanan KH Zainal Mustafa terhadap pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia mencapai puncaknya ketika kebijakan Seikerei diwajibkan. KH Zainal Mustafa dan para santrinya tidak sudi membungkukan diri ke arah matahari terbit.

Tanggal 25 Februari 1944, bertepatan dengan hari Jumat ketika KH Zainal Mustafa sedang menyampaikan khotbah, ia dipanggil oleh 4 orang opsir Jepang. Opsir-opsir tersebut mendesak kepada KH Zainal Mustafa untuk menghadap perwakilan pemerintah Jepang di Tasikmalaya.

Arogansi para opsir Jepang itu memantik emosi para santri dan terjadilah kericuhan. Tiga orang opsir tewas, sementara satu opsir lainnya melarikan diri untuk meminta bantuan.

Sore hari pukul 16.00 WIB, datang pasukan Jepang dengan menggunakan truk dan langsung menyerang garis pertahanan penduduk dan santri di Sukamanah. Alhasil, dalam waktu satu jam, Jepang menang. Sebanyak 86 orang warga gugur. Insiden inilah yang disebut sebagai Peristiwa Singaparna.

KH Zainal Mustafa ditangkap dan bersama 23 orang lainnya dinyatakan bersalah untuk diadili di Jakarta. Selain itu, sekitar 79 orang yang terlibat Peristiwa Singaparna dihukum penjara 5 sampai 7 tahun di Tasikmalaya.

Pada akhirnya diketahui bahwa KH Zainal Mustafa telah dieksekusi mati oleh tentara Jepang tanggal 25 Oktober 1944 dan dikuburkan di Ancol, Jakarta Utara. Keberadaan makam KH Zainal Mustafa baru diketahui jauh di kemudian hari.

Tanggal 25 Agustus 1973, makam KH Zainal Mustafa dan para pengikutnya yang juga dikebumikan di Ancol dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.

Pemerintah Republik Indonesia menetapkan KH Zainal Mustafa sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 1972 dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.

Perlawanan pesantren belakangan sebelum Jepang menjajah bangsa Indonesia dilakukan melalui perang kebudayaan atau familiar disebut perlawanan kultural. Perlawanan ini berawal dari fatwa KH Hasyim Asy’ari yang saat itu mengharamkan para santri dan masyarakat menyamai segala atribut yang digunakan oleh Belanda terutama busana atau pakaian. Langkah ini tidak hanya menyadarkan masyarakat untuk melawan segala bentuk penjajahan, tetapi juga menggembosi kekuatan penjajah Belanda.

Perlawanan kultural berlanjut ketika Jepang datang. Ritual seikerei yaitu menyembah dengan membungkuk 90 derajat kepada Kaisar Jepang, Tenno Heika ditolak oleh umat Islam terutama kalangan pesantren yang saat itu berhadapan langsung dengan penjajah Jepang. Perlawanan itu hadir dari Kiai Hasyim Asy’ari kala dirinya ditangkap dan dipenjara oleh Jepang. Ia menolak ritual serdadu Jepang yang tiap pagi melakukan seikerei. Penyiksaan pun dialami oleh ayah Kiai Wahid Hasyim ini atas perlawanannya itu.

Selain melakukan perlawanan kultural, perlawanan fisik secara terbuka juga dilakukan oleh para kiai pada masa pendudukan Jepang 1943-1945. Di antaranya dilakukan oleh para ulama pesantren di Jawa Barat. KH Zainal Mustafa dari Singaparna, Tasikmalaya memimpin pergerakan melawan Jepang pada 18 Februari 1944. Sebelumnya, ia juga aktif melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Dalam catatan Hary J. Benda (1980) yang dikutip Munawir Aziz (Pahlawan Santri: Tulang Punggung Pergerakan Nasional, 2016), para petani yang tidak puas terhadap kebijakan Jepang melawan untuk memperoleh kemerdekaan. Pemerintah kolonial Jepang meminta para petani untuk menyediakan beras secara paksa. Kiai Zainal Mustafa di garda depan petani untuk melakukan perlawanan, bertarung melawan tentara Jepang.

Kiai yang mempunyai nama asli Umri dan Haedami ini melawan kekejaman penindasan Jepang dengan menggerakkan jaringan pesantren di Jawa Barat. Pengalaman kiai yang lahir pada 1899 di Kampung Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya menempa ilmu di sejumlah pesantren Jawa Barat ini turut membantu dalam mengonsolidasikan pergerakannya.

Pada tahun 1943, Kiai Zainal Mustafa mulai melakukan kontak dengan beberapa pesantren di Jawa Barat untuk mengimbangi pergerakan tentara ke-16 Jepang yang bengis dan kejam. Namun, selain para pejuang dari pesantren, Kiai Zainal juga memperkuat pasukan dengan mengajak laskar tentara. Di antara laskar yang dikontak oleh Kiai Zainal ialah Batalyon Pembela Tanah Air (PETA) yang dikomandani Daidanco Maskun.

Kiai Zainal menyadari, tidak semua santri memiliki keterampilan militer sehingga perlu menggandeng PETA untuk melatih barisan santri dalam bidang militer dan pertahanan fisik. Namun, aksi Kiai Zainal ini tercium oleh Jepang hingga akhirnya PETA dipindahkan Jepang ke kawasan selatan Tasikmalaya.

Tekad Kiai Zainal Mustafa dengan para santri dan masyarakat membuat tekad Jepang semakin kuat untuk menghabisi para pengikut Kiai Zainal di Desa Sukamanah. Tepatnya pada 23 Februari 1944, Jepang mengirim utusan ke Pesantren Sukamanah. Sejumlah utusan yang terdiri dari pejabat lokal pro-kolonial mendapat perlawanan dari santri. Mereka menyita beberapa senjata tentara Jepang.

Melihat perlawanan santri tersebut, Jepang bertambah murka, kontak fisik terjadi pada 25 Februari 1944. Tiga perwira Jepang tewas dan beberapa lainnya melarikan diri. Jepang bertambah naik darah, mereka hingga menghirimkan pasukan hingga 6 kompi tentara untuk mengepung Desa Sukamanah di mana pesantren Kiai Zainal Mustafa menjadi pusat pendidikan dan pergerakan nasional.

Setelah terjadi perlawanan hebat dari para santri dan masyarakat, tentara Jepang berhasil menangkap Kiai Zanal Mustafa dan beberapa pengikutnya. Tentara Jepang juga menangkap warga seiring dengan insiden berdarah ini. Penjara Tasikmalaya penuh karena penangkapan besar-besaran di kawan Pesantren Sukamanah.

Munawir Aziz mencatat, sebanyak 800-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Para santri yang gugur melawan penjajah Jepang sebanyak 86 orang. Korban meninggal di penjara Singaparna 4 orang, di penjara Sukamiskin Bandung 38 orang, 2 orang meninggal di penjara Tasikmalaya dan 10 orang mengalami cacat permanen. Kiai Zainal Mustafa dan 23 orang diinterogasi dan dianggap bersalah. Mereka dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta.

Keberadaan Kiai Zainal Mustafa dan beberapa pengikutnya itu tidak diketahui hingga Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Pada tahun 1970 terdapat keterangan yang mencatat bahwa Kiai Zainal Mustafa dan pengikutinya dibunuh Jepang pada 25 Oktober 1944.

Kegigihannya melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Jepang berbuah gelar Pahlawan Nasional pada 1973. Di jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Kiai Zainal Mustafa menjabat sebagai Syuriyah NU Tasikmalaya.