KH Syam’un lahir pada 5 April 1894 dari pasangan H Alwiyan dan Hj Hajar di Banten. Di dalam darahnya mengalir darah tokoh pejuang di masa sebelumnya dalam melawan dan upaya mengusir penjajah. Ia merupakan keturunan dari KH Wasid tokoh pemberontakan yang dikenal Geger Cilegon pada 1888.

Masa kecil KH Syam’un memperoleh pendidikan di pesantren Dalingseng milik KH Sa’i pada 1901. Dia pindah ke Pesantren Kamasan, asuhan KH Jasim di Serang pada 1904. Tahun berikutnya, KH Syam’un belajar ke Mekkah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di tanah suci kepada ahli-ahli keislaman terbaik di dunia saat itu. Lalu ia melanjutkan pencarian ilmunya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dari 1910 hingga 1915.

Menurut sejarawan Agus Sunyoto, ia memiliki kemampuan bahasa asing yang fasih, setidaknya tiga bahasa yaitu Arab, Inggris, dan Belanda. Dari kemampuan berbahasa itu, kemungkinan dia untuk menyerap ilmu dari berbagai sumber sangat besar melengkapi dan mengembangkan kemampuannya. Reputasinya dalam bidang keilmuan, terutama agama, ditunjukkan dengan ia mampu mengajar di Masjidil Haram, Mekkah. 

Sebagaimana dijelaskan Rahayu yang dikutip Historia.id, seusai memperoleh ijazah Al-Azhar, KH Syam’un kembali ke Mekkah untuk mengajar di Masjid al-Haram. Muridnya dari berbagai negara aneka suku bangsa. Namun, yang terbanyak dari Jawa. Meskipun cuma setahun mengajar, di sini namanya mulai sohor sebagai ulama Banten yang besar.

Ia melanjutkan reputasi ulama-ulama Nusantara dari masa sebelumnya yang mampu mengajar di masjid prestisius itu, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Tremas, dan lain-lain. 

Perjuangan Mengusir Penjajah
“Suara senapan mesin Jepang terdengar dari pinggir pantai Bojong Anyer, Banten. Anggota Pembela Tanah Air (PETA) lagi menembaki sebuah kapal selam milik Sekutu. Badan kapal tak tampak. Sepenuhnya berada di dalam air. Hanya periskop kelihatan sedikit di permukaan. Kapal selam itu cepat masuk air. Tembakan dari anggota PETA pun berhenti. Seorang penembak kapal selam itu bernama KH Syam’un,” demikian situs Historia.id membuka tulisan yang mengupas perjuangan tokoh tersebut. Waktu itu ia merupakan daidanco (komandan batalion) PETA wilayah Cilegon-Serang, Banten, sejak November 1943.

Situs tersebut menyerap data dari catatan Mansyur Muhyidin dalam Karya Ilmiah Berdasarkan Pengalaman Anak-Anak K.H. Sjam’un seperti dikutip oleh Rahayu Permana dalam "Kiai Haji Sjam’un: Gagasan dan Perjuangannya," tesis di Universitas Indonesia.

Di dalam buku Fatwa dan Resolusi Jihad (2017) karangan KH Agus Sunyoto, KH Syam'un adalah perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA), Komandan Batalyon berpangkat daidancho atau mayor tahun 1943. Tahun 1944 dilantik jadi Komandan Batalion PETA berpangkat mayor, memimpin 567-600 orang pasukan. Saat TKR dibentuk 5 Oktober 1945, pangkatnya naik jadi kolonel, Komandan Divisi l TKR dengan memimpin 10.000 orang pasukan. Tahun 1948, ia naik pangkat brigadir jenderal. Ia memimpin gerilya di wilayah Banten, sampai wafatnya tahun 1949.

Sementara data lain, menurut penelusuran Ahmad Baso, setelah proklamasi diangkat sebagai bupati Serang, diangkat oleh Residen Banten KH Tubagus Achmad Chatib. Dengan koordinasi Chairul Saleh dan Tan Malaka membawa massa Banten ke lapangan Ikada September 1945.

Mengembangkan Pesantren dan Aktif di NU 
Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, ketika pulang ke tempat kelahirannya, ia mengembangkan pesantren juga. KH Syam’un pulang ke Hindia Belanda pada 1915.

Menurut Rahayu, lagi-lagi sebagaimana dikutip Historia, KH Syam’un meletakkan ilmu pada tingkat paling atas dalam pencapaian kehidupan manusia. Dia juga memiliki gagasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat. 

“Bahwa pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi segala persoalan hidup,” ungkap Rahayu.

Wujud gagasan KH Syam’un terlihat dari pendirian pesantren di Citangkil, Cilegon, pada 1916. Sepuluh tahun awal, materi ajarnya masih terbatas pada ilmu agama seperti tata bahasa Arab, fiqih, hadits, tafsir, dan akidah. Santrinya pun hanya berjumlah puluhan. Lama-kelamaan pesantren Citangkil berkembang. Tidak hanya dari jumlah santri, melainkan juga materi ajar dan metode pembelajaran.

Masih dikutip dari Historia.id dari sumber Abdul Malik dkk., dalam Jejak Ulama Banten Dari Syekh Yusuf Hingga Abuya Dimyati, KH Syam’un menggabungkan pola pendidikan tradisional pesantren dengan sekolah modern pada 1926. 

“KH Syam’un berusaha mengembangkan rasionalitas Islam dengan seruan kembali kepada ajaran Islam yang pokok,” tulisnya.

Kemungkinan karena merasa satu visi dengan kiai-kiai asal pesantren, di dalam berorganisasi ia memilih aktif di Nahdlatul Ulama. Ia tercatat sebagai salah seorang syuriyah dari NU Serang. Buktinya sebagai pengurus, menurut data yang ditemukan di Majalah Swara Nahdlatoel Oelama dan Berita Nahdlatoel Oelama, ia hadir di muktamar NU. Paling tidak, di Muktamar NU kelima di Pekalongan pada 1930 dan Banjarmasin 1936

Wallahu Alam Bissawab