Pada masa kecilnya, Idham Chalid dikenal sebagai anak yang cerdas. Saat masuk Sekolah Rakyat, bahkan ia langsung duduk di kelas dua.
Lalu, setelahnya ia melanjutkan pendidikan ke Pesantren Gontor, yang berada di Ponorogo, Jawa Timur. Disana ia juga belajar kemampuan bahasa Jepang, Jerman dan Prancis.
Setelah tamat dari Gontor pada 1943, Idham Chalid melanjutkan pendidikan di Jakarta. Karena fasih berbahasa Jepang, ia kerap diundang pihak Jepang sebagai penerjemah.
Disinilah awal mula ia mulai dekat dengan para tokoh ulama Nahdlatul Ulama, karena ia kerap menjadi penerjemah saat Jepang melakukan pertemuan dengan NU.
Saat Jepang telah kalah dan sekutu kembali masuk ke Indonesia, Idham Chalid mulai ikut masuk ke badan-badan perjuangan.
Kemudian menjelang kemerdekaan ia juga aktif sebagai Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah untuk Amuntai.
Ia juga mulai bergabung ke beberapa partai, yaitu Persatuan Rakyat Indonesia, lalu pindah ke Serikat Muslim Indonesia.
Pada saat perang di masa kemerdekaan, tepatnya tahun 1947, Idham Chalid dan muridnya Hasan Basry, ikut berjuang dalam Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan.
Seusai perang ia pun diangkat menjadi anggota dari Parlemen Sementara Republik Indonesia, mewakili Kalimantan.
Kemudian di tahun 1950, Idham Chalid terpilih menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi.
Namun, pada tahun 1952 saat NU memisahkan diri dengan Masyumi, Idham memilih bergabung ke Partai Nahdlatul Ulama.
Idham memulai karirnya di NU bersama GP Ansor. Di tahun yang sama ia kemudian diangkat menjadi ketua PB Ma'arif, organisasi sayap NU yang bergerak untuk pendidikan.
Beberapa tahun kemudian, setelah melewati beberapa jabatan penting, Idham Chalid diangkat menjadi wakil ketua NU.
Saat pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga. Hal ini membuat NU mendapatkan jatah lima menteri dan wakil perdana menteri.
PBNU pun menyerahkan jabatan wakil perdana menteri kepada Idham Chalid, tepatnya saat Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Kemudian pada mukhtamar NU ke-21 yang diselenggarakan di Medan, Idham Chalid juga diangkat menjadi ketua umum PBNU.
Pada pertengahan tahun 1966, Orde Lama tumbang dan digantikan oleh Orde Baru. Tapi, Idham Chalid ternyata tetap dipercaya berada dalam pemerintahan.
Idham Chalid pun menjabat sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat, yang dimandatkan oleh Presiden Soeharto. Ia menjabat hingga 28 Oktober 1971.
Saat pemilu tahun 1971, dibawah kepemimpinan Idham Chalid, NU kembali mendulang kesuksesan.
Namun, saat itu pemerintah melebur partai hanya menjadi tiga saja, yaitu Golkar, PDIP dan juga PPP yang didalamnya terdapat NU.
Idham Chalid pun menjabat sebagai presiden PPP, dan menjadi ketua MPR/DPR RI periode 1971 hingga 1977.
Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat, ia memutuskan untuk mengangkat nama Dr. KH. Idham Chalid sebagai Pahlawan Nasional, pada 7 November 2011.
Idham Chalid dianggap memiliki jasa luar biasa untuk kepentingan bangsa dan negara.
Beliau juga aktif dalam dunia pendidikan, warisannya adalah yayasan pendidikan Agama Islam Darul Maarif di Jakarta Selatan dan Darul Qur'an di Bogor.
Penghormatan negara untuk jasa beliau juga tertuang pada mata uang versi terbaru yang dipakai hingga sekarang. Wajah Idham Chalid tercetak di pecahan Rp5 ribu.
Teladan serta akhlak yang baik memang menjadi warisan serta contoh berharga bagi masyarakat Indonesia.
Jasa Idham Chalid yang melintasi tiga generasi sekaligus, tentunya harus kita kenang dan tanamkan sebagai semangat membangun Indonesia di masa mendatang
Wallahualam Bishowab
MEDIA SOSIAL