K.H. Abdul Wahid Hasyim merupakan salah seorang tokoh nasional yang tergabung dalam BPUPKI dan Panitia Sembilan yang menyusun Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Muhammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI, pernah menyatakan bahwa tujuh kata dalam sila pertama tersebut adalah ide K.H. Abdul Wahid Hasyim.
K.H. Wahid Hasyim adalah putra pendiri Nahdatul ‘Ulama, Hadhratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari dan ayah dari K.H. Abdurrahman Wahid atau yang lebih sering disapa Gus Dur. Kyai Wahid lahir pada 5 Rabiul Awal 1333 H/1 Juni 1914 M di Jombang, Jawa Timur.
KH. Wahid Hasyim adalah anak kelima dari pasangan K.H. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah. Nama kecil beliau adalah Muhammad Asy’ari yang dinisbahkan pada kakeknya. Namun, Asy’ari kecil sering sakit hingga namanya diganti menjadi Abdul Wahid Hasyim yang dinisbahkan pada datuknya.
Mbah Hasyim sendiri yang mendiri putranya tersebut. Pada umur 7 tahun, beliau sudah mulai mempelajari kitab kuning di Pesantren Tebuireng, pesantren yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Kitab kuning yang beliau pelajari di antaranya adalah Fathul Qarib, Minhajul Qawim, Mutammimah, dan lain-lain. Setelah lulus dari Pesantren Tebuireng saat berusia 12 tahun, Wahid Hasyim mulai melakukan pengembaraan mencari ilmu ke berbagai pesantren seperti Pondok Siwalan Panji, Sidoarjo dan Pesantren Lirboyo, Kediri hingga usia 15 tahun.
pada tahun 1932 KH. Wahid Hasyim berangkat ke Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas dan menetap disana selama 2 tahun. Mereka berdua menjalankan ibadah haji, juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Sepulang dari Mekkah, K.H. Wahid Hasyim mulai mengajar di Pesantren Tebuireng dan melakukan perombakan kurikulum pendidikan disana dengan mendirikan Madrasah Nizhamiyah, terinspirasi dari madrasah yang pernah dipimpin langsung oleh Al-Imam al-Ghazali di Baghdad.
Di samping mengajar, beliau juga mulai bergabung dengan NU pada tahun 1943 dan aktif menjadi pengurus. Meskipun beliau adalah putra pendiri NU, beliau tetap menduduki jabatan mulai dari bawah layaknya orang lain. Awalnya menjadi sekretaris, ketua cabang, hingga akhirnya pada tahun 1946 beliau terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU karena menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.
Hidup beliau memang cukup singkat. Namun rentang waktu 39 tahun yang dilaluinya telah menggoreskan nama Wahid Hasyim sebagai pahlawan nasional. Beliau menduduki peran sangat penting dalam mencari jalan keluar terbaik bagi masa depan bangsa Indonesia.
Seperti yang dikutip dari Majalah Tempo Edisi 18 April 2011, pada tahun 1939, K.H. Wahid Hasyim memimpin federasi ormas-ormas Islam Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, dan Persis melalui Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Dikutip dari buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, pada masa kepemimpinan Wahid Hasyim tahun 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri.
K.H. Wahid Hasyim juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama dalam tiga periode pemerintahan: Kabinet RIS (Desember 1949-Desember 1950), Kabinet Mohammad Natsir (September 1950-April 1951), dan Kabinet Sukiman (April 1951- April 1952). Di bawah kepemimpinannya, Departemen Agama mempunyai visi dan misi yang jelas. Madrasah dan perguruan tinggi Islam pun mulai banyak bermunculan di berbagai daerah. Beliau selalu dikenal sebagai sosok yang sangat bersemangat dalam mengembangkan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan.
Ulama dan tokoh nasional ini wafat pada 19 April 1953 lantaran kecelakaan mobil yang dialami beliau ketika akan menghadiri rapat NU di Sumedang, Bandung. Jenazah beliau kemudian dibawa ke Jakarta emudian diterbangkan ke Jombang untuk disemayamkan di pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng.
Wallalu A'lam Bisshowab
MEDIA SOSIAL