K.H..R As’ad Syamsul Arifin merupakan seorang ulama yang terdepan. Kiai As’ad dikenal sebagai mediator berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Sebagaimana yang kita ketahui, peran beliau sangatlah penting dalam berdirinya Nahdlatul Ulama. Dengan semangat yang menggebu-gebu serta kepatuhanya kepada sang murrabi K.H. Kholil Bangkalan, tercatat Kiai As’ad diutus khusus menuju Jombang guna membawa isyarat restu sang guru untuk berdirinya organisasi keagamaan ini.

Kiai As’ad juga dikenal sebagai pekerja keras dan gigih dalam memperjuangkan kepentingan Agama dan bangsa. Tidak terhitung jasa beliau untuk agama dan negeri ini, bahkan torehan sejarah mencatat bahwa beliaulah yang berani dan tegas mendukung asas Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia.

Tidaklah dikatakan berlebihan, jika kita mengatakan bahwa jasa beliau inilah yang menjadikan negara kita tetap eksis dan hidup dengan kedamaian dan ketenteraman, meskipun dengan banyakanya perbedaan didalamnya. Mengenal beliau lebih dalam ibarat berlayar di samudra yang tak bertepi, tidak akan cukup mewakilkan dan mendeskripsikan kemuliaan dan kehebatan beliau yang sesungguhnya.

 

Kiai As’ad dan Pesantren

Dahulu Sukorejo adalah hutan belantara yang terbentang di bagian timur kota Situbondo. Hutan yang menjadi tempat persinggahan binatang-binatang buas itu kemudian dibabat hingga menjadi gubuk-gubuk mungil yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat mengaji.

Kiai Syamsul Arifin ditemani As’ad muda dengan sabar membabat semak-semak belukar yang angker itu. Meski tantangan dan rintangan selalu menghalau perjuangan, tidak pernah terucap kata mengeluh dari beliau. Tidak hanya binatang buas, makhluk halus berjenis jin pun ikut serta mengganggu langkah-langkah beliau.

Sukorejo tak lain adalah pilihan dari guru Kiai Syamsul yaitu K.H. Asadullah dan Habib al-Musawa ketika beliau datang dari tanah suci Mekah untuk yang kedua kalinya. Meskipun demikian, isyarat membangun pondok pesantren telah beliau rasakan semenjak beliau nyantri di Mekah. Kala itu, sang guru menuturkan, “Suatu ketika kamu (Syamsul) akan bertemu seorang alim yang sedang bertapa. Itu tanda bahwa kamu sudah saatnya mendirikan pesantren untuk mengembangkan ajaran Islam”.

Ternyata pesan sang guru itu benar-benar terjadi saat beliau diperintah oleh Kiai Asadullah dan Habib Musawa sowan kepada Kiai Alim yang berada di Banyuputih. Saat itu Kiai Syamsul dan As’ad muda menjumpai Kiai Alim di sebuah goa sedang bertapa. Kiai As’ad pun mengikuti abahnya untuk menunggu dengan sabar dimulut goa tersebut, sebagaimana pesan habib agar Kiai Syamsul membangun pesantren jika nanti bertemu dengan Kiai Alim yang sedang bertapa. Sejak pertemuan itu, tekad untuk mendirikan pondok pesantren semakin besar. Pesantren Sukorejo mulai dibabat sejak 1908 M. Sementara baru didatangi santri pada tahun 1914 M.

Memang santri pada waktu itu tidak terlalu banyak sebab kemasyhuran Kiai Syamsul hanya dalam lingkup Asembagus saja. Tetapi setelah itu, lantaran Kiai Syamsul mampu mengobati beberapa masyarakat Situbondo yang terserang penyakit mata -termasuk Kiai Raf’i (Pengasuh Pondok Pesantren Curah Jero)- kemudian nama Kiai Syamsul dikenal oleh banyak orang, bahkan sebagian dari mereka bersedia menetap di Sukorejo dengan mendirikan gubuk-gubuk kecil di sekitar rumah beliau. Sejak itu, santri-santri kian hari semakin bertambah. Dan pondok pesantren Sukorejo semakin ramai dan terkenal.

Setelah mondok yang terakhir kalinya di Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy’ari Jombang, As’ad muda asal Pamekasan ini memutuskan pulang untuk mengajar di pondok sang ayah.

Peran As’ad muda pada waktu itu memang tidak terlalu banyak. Kapasitas beliau hanya sebatas membantu ayahandanya. Bahkan menurut satu keterangan, As’ad muda lebih banyak menghabiskan waktunya di luar pesantren.

Kitab-kitab yang beliau ajarkan di antaranya adalah ilmu tauhid elementer yang lebih dikenal dengan Aqidatul Awam. Menurut pengakuan beberapa muridnya, Kiai As’ad ketika mengajar menggunakan gaya pembelajaran militer, sehingga dalam setiap materi yang beliau ampu selalu ada sanksi atau hukuman bagi siswa yang tidak bisa atau tidak hafal materi yang sudah ditentukan. Hukuman yang diberikan terkadang berupa direndam di jeding berjam-jam atau berupa perintah menimba air untuk seluruh jeding pondok.

Meskipun beliau tegas dalam memberi sanksi, beliau juga tidak segan-segan memberikan apresiasi kepada santri-santri yang berhasil menghafal. Biasanya beliau memberi hadiah sarung, songkok atau kopiah. Bahkan sesekali beliau memberi jam tangan.  

Sistem pembelajaran yang digunakan masih terbilang klasik. Misalnya sorogan atau bendongan. Baru setelah kebutuhan akan sistem pengajaran melanda banyak pesantren, Pesantren Sukorejo memulai merubah sistem pendidikannya dengan membentuk madrasah yang berjenjang, mulai dari tingkat shifir awal, shifir tsani, shifir tsalits atau yang kemudian disebut MI, MTS, dan MA.

Pada tahun 1951 M, K.H.R. Syamsul Arifin meninggal dunia. Sejak itulah tongkat estafet kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putra sulungnya, Kiai As’ad.

Memimpin pondok pesantren adalah tanggung jawab yang berat. Sehingga Kiai As’ad mencurahkan penuh perhatiannya kepada perkembangan pondok pesantren. Terbukti dalam banyak pengakuan, Kiai As’ad adalah sosok Kiai yang banyak ide. Tak hanya ide, beliau juga memiliki berbagai terobosan yang telah beliau tempuh guna memajukan lembaga pesantren tersebut.

Di antara terobosan-terobosan Kiai As’ad adalah Mendirikan perguruan tinggi yang kini bernama Universitas Ibrahimy pada tahun 1968. Kemudian mendirikan Sekolah Umum pada tahun 1980 mulai dari SMPI, SMAI, dan SMEAI yang sekarang berubah menjadi SMK . kemudian Mendirikan Ma’had Aly pada tahun 1990 yang menjadi jawaban atas kekhawatiran Kiai As’ad dan beberapa Kiai lain akan terjadinya kelangkaan kader ulama dan mubaligh yang mumpuni.

Selain kiprahnya dalam memajukan pendidikan santri, Kiai As’ad juga dikenal sebagai Kiai yang tegas dalam hal kebersihan lingkungan pesantren. Tidak jarang beliau dhuka (red, madura) atau marah kepada ketua kamar yang enggan membersihkan komplek asramanya. Bahkan dalam satu kesempetan Kiai As’ad pernah melempar tempat sampah ke dalam kamar karena saking marahnya. Hal ini dilakukan guna mendidik para santrinya agar senantiasa memperhatikan lingkungan sekitar. Tidak hanya yang berkaitan dengan kesehatan, namun beliau juga mengajarkan betapa pentingnya menjalankan sunah nabi yang dapat dilakukan meskipun hanya soal membersihkan lingkungan dari sekedar satu sampah yang kecil.

Kiai As’ad dan Pendidikan

Seperti yang diterangkan bahwa awal pendidikan di Pondok Pesantren Sukorejo masih bersifat elementer (permulaan atau tingkat pertama). Namun seiring berkembangnya zaman akhirnya pendidikan di PP. Salafiyah Syafi`iyyah Sukorejo juga mengalami perubahan. Misalnya dengan berdirinya Madrasah Ibtida’iyah setingkat SD, MTs setingkat SMP, MA setingkat SMA, dan Perguruan Tinggi. Transformasi ini terjadi pada kurun waktu sekitar tahun 1925-1950.

Waktu terus bergulir, santri kian tahun kian meningkat jumlahnya. Sementara fasilitas madrasah berupa penyediaan kelas-kelas sangat terbatas. Akhirnya langkah yang diambil oleh pengasuh kedua ini adalah dengan menggalakkan pembangunan kelas-kelas madrasah. Sebagaimana lazimnya, Madrasah yang diakui oleh pemerintah adalah yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulumnya disamping tetap memperioritaskan materi-materi agama.

Masuknya materi umum ke dalam kurikulum madrasah mendapat perhatian khusus dari Kiai As’ad. Kemudian beliau berinisiatif mendirikan sekolah yang keberadaannya tiada lain untuk menindak lanjuti masuknya materi-materi umum di kurikulum madrasah sejak jenjang MI, MTS, dan MA.

Kemudian Pada tahun 1980 Kiai As’ad ditemani orang-orang terdekatnya berhasil mendirikan SMP. Setahun kemudian berdirilah lembaga SMA yaitu pada tahun 1981. Setelah itu, Kiai As’ad mendirikan Sekolah kejuruan pertama, SMEA singkatan dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas atau yang sekarang dikenal dengan SMK. Sekolah ini didirikan tidak lepas dari cita-cita Kiai As’ad agar alumninya kelak ikut memikirkan perekonomian umat. Lembaga ini didirikan pada tahun 1984. Dan pada tahun yang sama Kiai As’ad juga mendirikan Sekolah Dasar (SD).

Pada masa kepemimpinan Kiai As’ad inilah pendidikan di Sukorejo mengalami perkembangan yang cukup pesat yang terus berkembang hingga saat ini. Lembaga pendidikan terakhir yang didirikan beliau adalah Ma’had Aly, sebuah lembaga yang menjadi jawaban dari kegelisahan dan keprihatinan Kiai As’ad akan langkanya generasi penerus yang ahli dalam ilmu fikih.

Ma’had Aly yang memfokuskan pada kajian Fikih dan Ushul Fikih resmi didirikan pada awal tahun 1990 tepat beberapa bulan setelah itu, yakni pada bulan Agustus dimana beliau menghembuskan nafas yang terakhir kalinya. Bahkan Kiai As’ad sendiriliah yang menjadi Mudir ‘Am (direktur umum) Ma’had Aly yang didampingi oleh K.H. Wahid Zaini, K.H. Hasan Basri dan K.H. Hariri Abdul Adhim.

Selain itu lahirnya Ma’had Aly juga menjadi wujud bakti Kiai As’ad  kepada guru beliau K.H. Hasyim Asy’ari yang mengingkan agar Kiai As’ad mampu mencetak ahli fikih (fukaha) sebanyak-banyaknya. Pada prinsipnya lembaga ini sangat beliau harapkan mampu menjadi jawaban dari segala persoalan keumatan yang akan terus berkembang setiap zamanya.

Kiai As’ad dan NU

Kiai As’ad dan NU bagaikan ruh dan jiwa, tidak bisa dipisahkan. Dari awal berdirinya NU hingga hembusan nafas terakhirnya, Kiai As’ad setia mengawal perjalanan oraganisasi ulama ini.

Telah banyak jasa yang beliau berikan kepada NU. Tak pelak jika sosok Kiai ini dikenal dengan pahlawan NU, sosok Kiai yang dalam jiwanya mengalir deras semangat NU. Dalam satu kesempatan, Kiai As’ad pernah mengatakan “ jiwa, raga, dan tulang sumsumnya adalah NU”. Itu artinya betapa besar semangat juang dan rasa cinta Kiai As’ad untuk NU.

Segala urusan yang berhubungan dengan NU selalu didukung oleh beliau. Jiwa dan raganya telah beliau korbankan untuk kepentingan NU. Berikut adalah jasa-jasa Kiai As’ad :

Mediator NU

Dalam literatur sejarah berdirinya NU, Kiai As’ad memang jarang diungkap bahkan nyaris tidak ada yang tahu atas perannya sebagai mediator berdirinya oraganisasi NU. Bisa dimaklumi, barangkali memang Kiai As’ad enggan menceritakan peran sejarahnya lantaran khawatir terbawa kedalam sifat riya’.

Menurut hemat beliau, betapa susahnya mendirikan jam’iyah ulama ini, hingga K.H. Kholil Bangkalan, Madura, perlu dua kali mengutus dirinya pergi ke Tebuireng, Jombang, untuk menyampaikan isyarat kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Waktu itu Kiai As’ad memang sedang nyantri di Pondoknya K.H. Kholil Bangkalan. Ada baiknya jika ditulis hasil rekaman yang dilakukan oleh tim buku “K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya”. Berikut isi rekamannya:

“Berdirinya NU tidak seperti lazimnya perkumpulan lain. berdirinya NU tidak ditentukan oleh perizinan dari bupati atau gubernur, tapi langsung dari Allah SWT. Dan izin dari Allah itu juga ditempuh melalui perjuangan para wali songo. Karena itu, di dalam simbol NU terdapat bintang berjumlah sembilan”.

Setelah melalui istikhoroh yang cukup lama oleh beberapa Kiai, akhirnya isyarat pendirian jam’iyah NU datang kepada K.H. Kholil Bangkalan yang kemudian beliau memerintah Kiai As’ad untuk mengantarkan tongkat kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Tidak ada tanggal dan hari yang jelas tetapi yang pasti peristiwa itu terjadi pada tahun 1924.

Mendapat perintah demikian, Kiai As’ad muda langsung berangkat ke Tebuireng Jombang, seraya menghafalkan ayat 17-23 surat Thaha yang juga merupakan perintah dari sang guru.

Sesampainya di Tebuireng Jombang, Kiai As’ad langsung memberikan tongkat yang menjadi titipan gurunya kepada K.H. Hasyim Asy’ari.    

Kira-kira pada pertengahan tahun 1925 M. Kiai As’ad kembali mendapat tugas dari sang guru. Perintah kali kedua ini, beliau diberi tugas mengantarkan tasbih kepada K.H. Hasyim Asy’ari. Seperti halnya tongkat, Kiai As’ad tak hanya diperintah membawa tasbih, Kiai Kholil berpesan agar membaca beberapapa bacaan asmaul husna yaitu ya jabbar ya qohhar sebanyak 3x.

Pesan inilah yang akhirnya menjadi indikasi kuat bahwa Nahdlatul Ulama sudah mendapatkan restu mulia untuk didirikan dan restu K.H. hasyim Asy’ari sebagai pemimpin organisasi tersebut. Begitu besarnya jasa K.H..R As’ad dalam terbentuknya NU yang sudah sepantasnya terus dikenang sepanjang masa.

Gagasan NU kembali ke Khittah

Gagasan NU kembali ke khittah berawal dari statusnya yang berubah dari organisasi islam menjadi partai politik. Setelah berjalan beberapa tahun ternyata dalam tubuh NU yang kini telah berubah Partai Politik banyak disusupi beberapa kepentingan-kepentingan yang jauh dari misi awal berdirinya NU sendiri. Hal ini dirasakan oleh beberapa ulama sepuh termasuk Kiai As’ad.

Setelah melalui perbincangan panjang, akhirnya dengan dikomando oleh Kiai As’ad dan beberapa Kiai lainnya yang berkumpul dalam acara Musyawaroh Nasional (MUNAS) yang bertempat di PP. Salafiyah Syafi’yah Sukorejo Situbondo. Dalam Munas yang diadakan sejak 18-21 Desember 1983 itu berhasil memutuskan “mengembalikan NU ke garis dan landasan perjuangan asalnya, yang kemudian populer dengan sebutan kembali ke khittah 1926”.

Gagasan NU kembali ke khittah memiliki beberapa tujuan. Di antaranya:

a. Mengembalikan aktivitas NU dari bidang politik ke bidang asalnya, yaitu bidang dakwah dan pendidikan sosial.

b. Menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya, apakah ke Golkar, PPP, maupun PDI yang memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan islam.

c. Membenahi organisasi, setelah terperangkap dalam kemelut intern seusai Munas Kali Urang, Yogyakarta, 1981. (baca: K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya)

 Kiai As’ad dan Masyarakat

Hubungan Kiai As’ad dengan masyarakat secara luas bisa terbilang dekat. Meski memiliki kesibukan yang cukup padat di pondok pesantren, pengasuh kedua ini menyempatkan hadir di beberapa undangan dari masyarakat. Hampir seluruh waktunya beliau gunakan untuk kepentingan pesantren dan masyarakat secara luas.

Dalam sejarah tercatat bahwa Kiai As’ad adalah sosok Kiai yang juga berteman atau bergaul dengan para bajingan. Dan ternyata pertemanan Kiai dengan para bajingan itu bertujuan mengayomi dan memberdayakan mereka ke jalan yang benar. Konon, Kiai As’ad memiliki wibawa tersendiri di mata para bajingan. Bajingan yang begitu keras, angkuh dan terkesan beringas itu, di hadapan Kiai As’ad menjadi luluh tak berdaya.

Usaha Kiai As’ad membuahkan hasil yang cukup baik. Para bajingan itu akhirnya bertaubat dan ikut berjuang bersama Kiai As’ad yang kemudian beliau satukan dalam sebuah perkumpulan yang beliau beri nama palopor untuk keamanan pesantren dan masyarakat dari jajahan musuh.

Sisi inilah yang barang kali agak diabaikan banyak orang dalam diri Kiai As’ad Syamsul Arifin. Selayakanya bagi kita bukan hanya berbangga diri menjadi santrinya, namun berusahalah untuk meneladani setiap perjuangan dan kebaikan-kebaikan beliau semasa hidupnya. JASHIJAU (jangan sampai menghilangkan jasa Ulama).

Tasharruf Barzahiyyah Kiai As’ad

Pada tahun 2011, ada seorang wanita non-muslim, tinggal di Yogyakarta, yang didatangi oleh seseorang yang sudah sepuh dengan mengenakan pakaian putih serta songkok putih. Dalam kejadian itu, laki-laki tersebut bertanya kepada wanita ini,

“Kamu ingin temukan ketenangan atau kedamaian, silahkan datangi tempat-tempat ibadah itu, tapi pada akhirnya kamu akan dapati semuanya, setelah kamu menemukan Baiturrahmah. Dan kamu akan berjumpa dengan pemuda yang baru satu bulan pulang dari tanah Arab”. 

Kemudian pada tahun yang sama, wanita ini pulang ke tanah kelahirannya di Pulau Dewata Bali. Di tengah perjalanan, wanita merenungkan apa maksud dari kejadian tersebut. Hingga akhirnya wanita ini tiba di kampungnya, Bali. Setelah itu, ia menyempatkan berkunjung ke rumah tetangganya dan kebetulan tetangganya itu merupakan alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo.

Ketika ia memasuki rumah tetangganya, ia mendapati sebuah foto sosok kiai sepuh, lalu ia bertanya

“Siapa orang yang ada di dalam foto ini?”.

Lalu dijawab “Itu adalah guru saya, Kiai As’ad Syamsul Arifin”.

“Loh, orang ini yang ada dalam kejadian waktu itu” kata wanita itu, terkejut.

Kemudian wanita ini bercerita panjang lebar tentang pengalamannya. Si alumni ini pun kebingungan dan mengatakan

“Kiai As’ad ini wafat pada tahun 1990, masa bertemu sampean di tahun 2011?”. Sanggah si alumni ini sambil terheran-heran mendengar cerita dari tetangganya itu.

Akhirnya, wanita ini mengajak tetangganya agar bisa berziarah kepada kiai sepuh itu, Kiai As’ad.

Berangkatlah alumni dan wanita ini ke Sukorejo. Singkat cerita, kemudian alumni ini langsung membawa wanita tersebut ke makam Kiai As’ad. Sambil lalu mengaji dan berdoa, wanita non muslim ini terlihat sedang berdoa dan menangis, lalu ditanya oleh si alumni yang menemaninya

“Sampean berdoa apa? Dan kenapa menangis?”

“Saya tidak tahu juga, pokonya ingin berdoa dan menangis” jawabnya.

Setelah keluar dari asta, wanita ini melihat masjid Jamik Ibrahimy kemudian berkata,

“Loh, ini kan Baiturrahmah itu. Ini Baiturrahmah yang ditunjukkan oleh orang sepuh sewaktu saya di Yogyakarta”.

 Alumni ini pun semakin bingung dan penasaran. Wanita ini kemudian bertanya kepada salah satu masyarakat di Sukorejo

“Siapa pemuda yang baru satu bulan pulang dari tanah Arab?”

Lalu wanita itu mendapatkan jawaban, bahwa pemuda yang yang dimaksud oleh Kiai Sepuh itu adalah KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy.

Setelah itu ia langsung bergegas untuk menemui Kiai Azaim. Wanita non muslim ini kemudian bercerita panjang lebar mengenai apa yang pernah ia alami di Yogyakarta. Pada akhirnya wanita ini memutuskan untuk memeluk agama Islam di bawah bimbingan syahadat Kiai Azaim. Kisah ini disampaikan KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy di Jembrana Bali, 2 Desember 2018.

Wallahualam Bishawab